Dampak Perilaku Manusia terhadap Kualitas Air di Sungai Citarum, Jawa Barat
Dampak Perilaku
Manusia terhadap Kualitas Air
di Sungai
Citarum, Jawa Barat
Rizta Melia
Andanusa - 1806137192
Sungai
merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam
daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sehingga kondisi
suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh
lingkungan disekitarnya (Setiawan, 2009). Fungsi lingkungan sungai yang utama
salah satunya adalah untuk pengairan lahan dan untuk memenuhi kebutuhan air
bersih [1] . Indonesia memiliki sekitar 5886 sungai (DGWRD, 1991), yang dibagi
menjadi 90 wilayah sungai menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT
/1989. Penetapan dan pembagian wilayah sungai dimaksudkan untuk menjamin
terselenggaranya usaha-usaha perlindungan, pengembangan air secara menyeluruh
dan terpadu pada satu daerah pengaliran sungai atau lebih. Hal ini, bertujuan
untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat di
segala bidang kehidupan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum).
Manusia
dalam menjaga hidupnya sangat tergantung pada keberadaan air yang bersih (Lawrence
dan Meigh, 2003). Air merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
. Air berasal dari berbagai sumber, antara lain dari air tanah, air yang
ditampung dalam waduk, serta air yang berasal dari sungai. Sebagian besar
masyarakat Indonesia menggunakan air sungai untuk melangsungkan kehidupannya,
mulai dari untuk mandi ataupun untuk memasak makanan. Tetapi, kondisi air
sungai tidak sebersih yang semestinya [2] .
Kini, yang menjadi sorotan utama adalah Daerah Aliran Sungai Citarum di Jawa Barat. Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat. Hulu Sungai Citarum berawal dari Gunung Wayang, Kabupaten Bandung dan berakhir di muara Laut Jawa yang terletak di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Pratiwi (2018) menyebutkan DAS Citarum didominasi oleh sektor industri manufaktur seperti kimia, tekstil, kulit, kertas, farmasi, logam, produk makanan dan minuman, dan lain-lain. Puslitbang SDA dan BPLHD Jawa Barat menyebutkan bahwa kondisi kualitas air Sungai Citarum belum dapat memenuhi baku mutu air di sepanjang tahun, terutama pada musim kemarau berdasarkan SK. Gubernur Jabar No. 39/2000 [3].
Sungai
Citarum masih dikategorikan sebagai sungai yang tercemar berat (BPLHD, 2013).
Sungai yang tercemar berat ini menandakan kualitas air sungai yang buruk. Buruknya kualitas air di sungai Citarum ini diakibatkan
oleh tingginya pencemar yang masuk kedalam sungai yang berasal dari perilaku
manusia itu sendiri, seperti limbah pemukiman, pertanian, industri, peternakan, perikanan, dan kegiatan
domestik.. Untuk memudahkan penanganan wilayah sungai Citarum dibagi menjadi 3
(tiga) zona yaitu Citarum Hulu, Citarum Tengah dan Citarum Hilir [4]. Citarum
Hulu meliputi wilayah hulu sungai di Gunung Wayang hingga ujung Saguling,
Citarum Tengah meliputi wilayah diantara tiga waduk yaitu
Saguling-Cirata-Jatiluhur, dan Citarum Hilir meliputi wilayah Citarum Hilir
hingga Muara Citarum didaerah Muara Gembong, Laut Jawa . Penyebab permasalahan
pada zona Citarum Hulu adalah berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan
nonhutan), budidaya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi, serta
berkembangnya kawasan permukiman tanpa perencanaan yang baik. Hal ini
menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi semakin tinggi, dan adanya
degradasi fungsi konservasi sumber daya air [5] .
Permasalahan
pada zona Citarum Tengah adalah banyaknya sampah yang menumpuk dan tidak
terkumpul dengan benar, sehingga akan masuk ke sistem drainase. Banyaknya
jumlah sampah yang masuk ke Waduk Saguling dapat menyebabkan pendangkalan pada
waduk akibat sedimentasi. Bila hal ini tidak diatasi, akan menyebabkan umur
layan waduk Saguling ini dapat lebih cepat habis sebelum waktunya. Selain itu,
hal yang menjadi permasalahan adalah belum optimalnya sistem operasi waduk
Cascade antara Waduk-Saguling-Cirata-Jatiluhur, terutama pada saat kondisi
ekstrem yaitu saat debit maksimum ataupun saat debit minimum [5] .
Hal yang menjadi
permasalahan pada zona Citarum Hilir adalah banyaknya pengalihan fungsi lahan
pertanian menjadi lahan permukiman. Hal ini menyebabkan adanya degradasi
prasarana pengendali banjir dan prasarana jaringan irigasi, selain itu, dapat
menyebabkan terjadinya abrasi pantai di muara yang memperparah keadaan [5] .
Dengan adanya permasalahan-permasalahan di tiap zona tersebut menyebabkan air sungai Citarum ini tercemar . Air yang tercemar ini tentu membahayakan kesehatan manusia baik dalam waktu jangka pendek maupun panjang, tergantung bakteri yang terkandung didalamnya. Dampak langsung yang paling terasa yakni masalah pencernaan, yang diperparah jika masyarakat mengonsumsi air yang mengandung zat kimia berbahaya yang mengalir di sungai Citarum. Selain itu, dampak yang ditimbulkan adalah banyaknya penduduk yang mengalami berbagai jenis penyakit kulit akibat terpapar logam berat dari air yang dipakai dalam kegiatan mencuci ataupun dikonsumsi sehari-hari. Penduduk di DAS Citarum juga mengalami kekerdilan (stunting) atau hambatan dalam proses pertumbuhan [6].
Solusi yang
diharapkan untuk mengatasi permasalahan yang ada di sungai Citarum ini adalah
dengan didasari dari banyak faktor pendukung seperti program-program atau
kebijakan pemerintah. Dukungan selain dari pemerintah juga dari pihak swasta,
baik dari dalam maupun luar negeri. Presiden Joko Widodo meluncurkan program
Citarum Harum pada bulan Januari 2018, dengan melibatkan Tentara Nasional
Indonesia (TNI), perguruan tinggi, media massa, maupun organisasi
non-pemerintah. Salah satu yang dijanjikan melalui program ini adalah dalam
waktu tujuh tahun sungai Citarum akan kembali bersih dan menjadi sumber
kehidupan bagi masyarakat sekitar . Selain itu, masyarakat juga perlu edukasi
mengenai kelestarian lingkungan, dikarenakan seringkali terjadi perilaku
masyarakat yang menyimpang, dengan maksud tidak memperdulikan alam sekitar
bukan atas dasar kesengajaan, akan tetapi disebabkan oleh minimnya pengetahuan
akan kelestarian alam. Agar terwujudnya sungai Citarum yang bersih, maka
penting disini untuk meningkatkan komunikasi antara pemerintah dengan
masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah harus menerima atau mendengarkan aspirasi
dari masyarakat, dengan kata lain masyarakat juga perlu memahami keterbatasan
pemerintah. Dengan adanya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat
diharapkan dapat terciptanya kualitas air di sungai Citarum yang bebas dari zat
tercemar, sehingga baik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat.
REFERENSI
[1] Herlina, A .
2019. Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemar di Sungai
Citarum. Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan. Universitas
Trisakti : Jakarta.
[2] Nana, T.
1995. Water Quality Conservation For The Citarum River in West Java. Journal Water Science and Technology. 31
(9) : 1-10
[3] Ayu, W.
2019. Kualitas Air Sungai Citarum. Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi
Lingkungan. Universitas Trisakti : Jakarta
[4] Rita, dkk.
2019. Membangkitkan Kepedulian Lingkungan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Guna
Menjamin Keberlanjutan Fungsi DAS Ciatrum. Difusi
. 2 (2): 1-10
[5] M. Fadhil.
2012. Studi Umum Permasalahan dan Solusi DAS Citarum serta Analisis Kebijakan
Pemerintah. Jurnal Sosioteknologi Edisi 25 Tahun 11. 17 – 31
[6] Dissa, dkk.
2019. Program Revitalisasi Sungai Citarum : Sebuah Analisis Strength, Weakness,
Advocates, Adevesaries (SWAA) . Jurnal
Ilmu Administrasi. 16 (1) : 81 - 96
Komentar
Posting Komentar