Dinamika Sumber Daya Air di Wilayah Bentang Alam Karst (Studi Kasus Kabupaten Gunungkidul)
Penulis: Pina Maulidina Hidayat – 1806197771
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Air
sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan kebutuhan dasar
manusia yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari seperti untuk minum,
mencuci, mandi, irigasi, hingga digunakan sebagai sumber energi Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA). Jumlah air dalam siklus hidrologi selalu tetap hanya
distribusinya saja dari waktu ke waktu yang berubah dipengaruhi oleh faktor
tertentu [1]. Meskipun air
merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui, tetapi bukan berarti tidak
memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan makhluk hidup karena air
memiliki kapasitas tertentu baik secara kuantitas maupun secara kualitas serta
pengaruh distribusinya secara temporal dan spasial.
Bentang
alam karst merupakan suatu kawasan yang tersusun oleh batu kapur atau batugamping (limestone). Batu kapur merupakan bagian dari batuan
sedimen yang tersusun dari fragmen
kerang atau terumbu karang yang kaya akan mineral kalsium karbonat (CaCO3)
dan juga
dolomit CaMg (CO3) sehingga batu kapur ini termasuk kedalam batuan sedimen
bioklastik [2]. Secara umum mineral yang terkandung dalam batu kapur adalah
kalsium karbonat sebesar 95%, dolomit 3% dan sisanya adalah mineral clay [3].
Siklus hidrologi secara umum berkaitan dengan air yang ada di bumi, proses terjadinya, peredaran dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisiknya serta kaitannya dengan makhluk hidup yang ada di bumi [4]. Hidrologi di kawasan karst memiliki ciri khas adanya aliran air permukan dan aliran air bawah tanah. Air permukaan dapat dijumpai berupa adanya mata air dan juga genangan air yang biasanya terdapat pada doline. Air hujan yang turun di wilayah karst sebagaian besar akan mengalami perkolasi ke dalam tanah melalui rongga-rongga yang terdapat di wilayah karst, maka dari itu sistem sungai yang berkembang adalah sungai bawah tanah. Air permukaan yang ada di wilayah karst memiliki jumlah yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan cadangan air di sungai bawah tanah. Simpanan air tanah kawasan karst menempati urutan ketiga terbesar dibandingkan dengan kawasan batuan vulkan[5].
Gambar 1. Sungai Permukaan
di Kawasan Karst, Kecamatan Karangmojo, Kab. Gunungkidul
(Sumber:
Dokumentasi penulis, 2019)
Air
tanah dinilai memiliki kualitas yang lebih baik daripada air permukaan karena
berada di bawah permukaan sehingga terhindar dari pencemaran dari luar. Namun, air
tanah juga memiliki potensi untuk tercemar apalagi di wilayah karst yang
memiliki batuan dengan kondisi mudah larut sehingga dapat terkontaminasi dengan
zat-zat kimia. Air tanah di wilayah karst dikategorikan memiliki kandungan
kapur. Air yang mengandung kapur dapat dikonsumsi namun harus dilakukan
penyaringan terlebih dahulu.
Karakteristik
hidrologi karst adalah adanya sumber mata air karst yang memiliki jumlah debit
air yang besar[1]. Kualitas
air di kawasan karst memiliki kualitas yang berbeda bergantung pada komposisi
kimia air tanah yang berfluktuasi dipengaruhi oleh debit, kejadian hujan, dan
juga aktivitas lain di wilayah tangkapan hujannya (catchment area). Terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas
air tanah dengan kualitas air permukaan. Air permukaan memiliki potensi
terkontaminasi zat-zat dari udara dan juga limbah permukaan sedangkan air tanah
tidak mudah tercemar oleh zat dari udara hal ini disebabkan oleh proses
infiltrasi air ke dalam tanah melewati berbagai lapisan horizon tanah yang
secara tidak langsung berperan sebagai penyaring, namun air tanah di kawasan
karst ini memiliki potensi pencemaran air tanah yang disebabkan oleh pelarutan
zat-zat kimia yang terkandung pada batu kapur itu sendiri. Aliran air tanah di
wilayah karst memiliki sifat anisotropis, artinya air dapat mengalir ke segala
arah dengan besaran yang tidak sama. Hal ini dipengaruhi oleh bentuk, ukuran,
kemiringan, dan jaringan bawah tanah yang terbentuk di wilayah karst tersebut.
Menurut riset yang dilakukan oleh A.B. Rodhial Falah,
Fredy Chandra, dan Petrasa Wacana, Karst Jawa Sebagai Ruang Hidup dan
Ancamannya, disebutkan bahwa luas kawasan karst di Indonesia mencapai 154.000 km2 (15,4 juta hektare) dengan distribusi merata di seluruh wilayah
nusantara, dari Pulau Sumatera hingga Papua. Sebagian besar kawasan karst
tersebut memiliki mata air hingga 30 mata air dalam satu kawasan karst yang
digunaakan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat sekitar[6]. Salah
satu bentang alam karst yang ada di Indonesia adalah karst Gunung Sewu yang
berada di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Karst Gunung Sewu merupakan kawasan karst yang berkembang dengan baik, ditandai
dengana danya cekungan-cekungan tertutup, sungai permukaan yang hampir tidak
ditemukan, dan terbentuknya sungai bawah tanah berupa jaringan goa yang
berkembang dengan baik di kawasan karst Gunung Sewu[7]. Di Kawasan karst Gunung Sewu terdapat banyak mata
air yang dapat dijumpai dan diakses secara langsung, pemanfaatan mata air karst
ini digunakan masyarakat sekitar sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, baik untuk kebutuhan rumah tangga, untuk irigasi perkebunan, dan
juga kebutuhan dasar lainnya. Mata air yang dijumpai di Kawasan karst memiliki
debit dengan jumlah yang besar sehingga dinilai mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat. Namun, jika musim kemarau tiba, masyarakat membutuhkan air tambahan
dengan membeli air bersih yang dikirim melalui tangki, baik dari pemerintah
maupun swasta, kekeringan yang dialami ini disebabkan oleh tidak adanya
cadangan air permukaan yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Air tanah yang
berada di bawah permukaan dinilai cukup sulit dimanfaatkan karena keberadaannya
yang cukup dalam di bawah permukaan tanah dan kondisinya yang memiliki
kandungan karbonat.
Gambar 2. Mata air
Gedongtirto di Kecamatan Karangmojo, Kab. Gunungkidul
(Sumber:
Dokumentasi penulis, 2019)
Pengalaman
penulis pada saat mengunjungi salah satu mata air di Kawasan Karst Gunungkidul
menunjukan bahwa kondisi mata air yang berada di di kecamatan Karangmojo ini
memiliki karakteristik air yang sangat jernih, segar, tidak berbau dan tidak
berasa. Mata air tersebut dialirkan menggunakan pipa ke rumah-rumah warga
sekitar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, memasak,
mandi, dll. Terdapat banyak titik-titik lokasi mata air yang berada di Kawasan Karst
tersebut dan juga memiliki karakteristik yang beragam.
Gambar
3.
Stalaktit di Goa Pindul
(Sumber:
Dokumentasi penulis, 2019)
Gambar 4. Jaringan sungai
bawah tanah sebagai objek wisata
(Sumber:
Dokumentasi penulis, 2019)
Sumber
daya air di wilayah bentang alam karst memiliki ciri khas yang beragam, mulai
dari banyaknya cekungan (doline), banyaknya sungai air bawah tanah, terdapat
mata air, dan air yang mengandung karbonat. Hidrologi karst memiliki kerentanan
akifer karst yang dapat menyebabkan penurunan potensi sumber daya air karst baik
secara kualitas maupun kuantitas. Tingginya permeabilitas skunder hasil proses
pelarutan yang menghasilkan banyaknya jaringan air menyebabkan tingkat kerentanan
yang tinggi terhadap pencemaran air tanah di kawasan karst dibandingkan dengan
kawasan lain[8].
Maka dari itu, wilayah bentang alam karst memiliki dinamika sumber daya air
yang beragam, pemanfaatan secara bijak dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
dan begitupula sebaliknya.
REFERENSI
[1] Haryadi, A., & Sudarmadji, S.
(2014). Kajian Potensi Mataair di Kawasan Karst Gunungkidul Kasus: Kecamatan
Panggang. Jurnal Bumi Indonesia, 3(3). [Diakses dari http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/627
pada 29 Mei 2020]
[2] Thompson, G.R.R. and Turk, J.
(1997). Introduction to Physical Geology. Saunders Golden Sunburst Series.
[3] Apriliani, N. F., Baqiya, M. A., & Darminto, D. (2012). Pengaruh penambahan larutan MgCl2 pada sintesis kalsium karbonat presipitat berbahan dasar batu kapur dengan metode karbonasi. Jurnal Sains dan Seni ITS, 1(1), B30-B34. [Diakses dari http://ejurnal.its.ac.id/index.php/sains_seni/article/view/343 pada 29 Mei 2020]
[4] Seyhan, Ersin. 1990. Dasar-dasar
Hidrologi. Yogyakarta. Yogjakarta. Gadjah Mada University Press.
[5] Djaendi, 2004. Potensi Air Tanah
dan Geowisata Kawasan Karst. Workshop Nasional Pengelolaan Kawasan Karst.
Wonogiri: Pemerintah Kabupaten Wonogiri
[6] LIPI. 2017. Ekosistem Karst tak
tergantikan [Diakses dari http://lipi.go.id/lipimedia/ekosistem-kawasan-karst-tak%20%09tergantikan/18002
pada 29 Mei 2020]
[7] White, W. B. (2002). Karst
hydrology: recent developments and open questions. Engineering geology, 65(2-3),
85-105. [Diakses dari https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0013795201001168?casa_token=oStgdXfwbEgAAAAA:_9ml12EP4zqYwTbHksmpTsL2v8mQwDatfx4YVa4GOQ6SQsKtJdpSiMnl3hkq2H0VK64xgT4rLMTe
pada 29 Mei 2020]
[8] Leibundgut, Chris. (1998).
Vulnerability of karst aquifers. 247. 45-60. [Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/294570938_Vulnerability_of_karst_aquifers
pada 29 Mei 2020]
Komentar
Posting Komentar