Ibu Kota kok Langganan Banjir?
Penulis: Muhammad Abi Fajar – 1806197411
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Jakarta merupakan kota langganan banjir, setiap hujan dengan intensitas tinggi seringkali warga Jakarta segera mempersiapkan diri untuk menghadapi datangnya banjir. Jika dilihat dari sejarah geografisnya, topografi Jakarta dianalisis dari aspek ketinggian lahan dan kemiringan lahan. Jakarta terletak pada dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut. Sedangkan, sekitar 40 persen wilayah Provinsi DKI Jakarta berupa dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah permukaan laut. Hal ini merupakan salah satu yang menjadi penyebab DKI Jakarta menjadi kota langganan banjir. Di Jakarta banjir sudah terjadi sejak 1959, ketika jumlah penduduk masih relatif sedikit. Banjir Jakarta terjadi sejak 1621, kemudian disusul banjir 1878, 1918, 1909, 1918, 1923, 1932 yang menggenangi permukiman warga karena meluapnya air dari sungai Ciliwung, Cisadane, dan Angke. Setelah Indonesia merdeka, banjir masih terus terjadi di Jakarta pada 1979, 1996, 1999, 2002, 2007 (kompasiana, 2012; Fitriindrawardhono, 2012).
Terdapat 13 sungai yang mengalir di Jakarta dan empat puluh persen daratannya berada di bawah muka laut pasang. Laju penduduk Jakarta pun pesat sehingga tekanan pada alam Jakarta berdampak pada pengelolaan serta pengendalian banjir. Jakarta merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia. Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi ini menimbulkan tekanan pada lingkungan hidup Jakarta yang semakin lama semakin berat. Perpaduan antara kondisi geografis yang rendah dan dialiri oleh banyak sungai, serta kian rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk, menyebabkan Jakarta kian lama kian rentan terhadap ancaman bencana banjir.
Bundaran HI Terendam Banjir. Sumber: Kompas.com
Beberapa penyebab terjadinya banjir yang selalu melanda Jakarta, antara lain; pertama, penyebab utama terjadinya banjir adalah intensitas hujan yang tinggi, faktor lain yang berpengaruh adalah bentuk lahan yang berupa dataran rendah dan kurangnya daerah resapan air. Hujan harian maksimum tahunan di DAS Ciliwung bervariasi dari 83 mm (1988) sampai dengan 300 mm (2020). Wilayah DKI Jakarta yang berada di bawah muka air laut seluas 40% dari total daratan yang ada (Sakethi, 2010). Kondisi ini diperparah dengan penurunan muka tanah yang mengalami penurunan antara 0.18 sampai dengan 2,45 cm/tahun (Ramadhanis dkk, 2017). Kedua, karena tanah tidak lagi mampu menampung air. Ketidakmampuan tanah dalam menyerap air tersebut dikarenakan sudah jarang ditemukan lahan hijau atau lahan kosong di Jakarta. Sehingga air langsung masuk ke salurannya, sungai, danau, dan selokan. Air dalam jumlah banyak dan deras yang tidak bisa tertampung lagi oleh saluran-saluran tersebut pun menggenang dan mengakibatkan tejadinya banjir. Ketiga, faktor manusia. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta. Bila hujan deras turun di hulu ataupun di Jakarta sendiri, volume air yang meningkat tinggi tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami penyempitan dan pengaliran air ke laut terhambat sehingga banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang pada gilirannya dapat mengakibatkan banjir. Jika dilihat dari perkembangannya, dibentuknya tim orange yang membantu dalam sector kebersihan Jakarta mendapatkan dampak yang signifikan, karenanya sampah yang berserakan karena ulah manusia yang tidak bertanggungjawab bisa teratasi walaupun tidak sedikit yang masih membuang sampah sembarangan terutama ke selokan. Hal ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Penyempitan Sungai Ciliwung akibat permukiman ilegal dan sampah yang dibuang ke sungai. sumber: urbanpoor
Banjir juga merupakan bencana yang relatif paling banyak menimbulkan kerugian, berdasarkan Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 24/No. 3 Desember 2013 banjir menempati urutan pertama atau kedua setelah gempa bumi atau tsunami (BNPB, 2013). Akibatnya banyak dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat yang terkena bencana banjir, diantaranya yaitu:
· Menyebarnya berbagai bibit penyakit.
Banjir dapat mendatangkan berbagai bibit penyakit pada saat tergenangnya air di daerah pemukiman warga, terkadang bukan hanya penyakit yang dibawa oleh air tersebut melainkan juga dapat disebabkan oleh nyamuk yang berkembang biak dengan cepat pada saat air tergenang. Hal ini menyebabkan pada saat adanya banjir banyak masyarakat terkena penyakit DBD
· Kehilangan harta benda.
Pada saat banjir datang di daerah yang tergolong dataran rendah, masyarakat seringkali dikejutkan dengan datangnya banjir secara tiba-tiba. Banjir yang melanda beberapa daerah yang ada di Jakarta biasanya disebabkan oleh banjir kiriman dari bogor karena intensitas curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang tidak sempat menyelamatkan harta benda saat banjir secara tiba-tiba melanda, sehingga harta benda masyarakat hilang atau rusak tergenang air banjir
· Fasilitas umum rusak
Air yang menggenangi pemukiman akan surut dalam waktu yang cukup lama, hal ini juga yang menyebabkan banyak sarana dan prasarana yang rusak karena imbas dari air banjir
· Kelangkaan air bersih
Karena banjir yang datang memiliki volume yang berbeda-beda pada tiap daerah, maka banjir yang dapat tergenang dalam waktu yang cukup lama tidak menutup kemungkinan bahwa air bersih pada daerah tersebut terkena dampak oleh banjir yang tergenang sehingga air bersih menjadi langka dan sulit dicari.
Pengendalian banjir di Jakarta merupakan salah satu prioritas penting bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang selalu dipantau setiap saat terutama pada musim penghujan. Program pengendalian banjir oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada era ini antara lain adalah:
· Naturalisasi Sungai
Naturalisasi sungai merupakan konsep mengembalikan ekosistem sungai dan waduk hingga sesuai pada fungsi aslinya. Pada program naturalisasi, akan dibangun tempat-tempat yang dapat menghidupkan kembali ekosistem sungai. Sehingga ekosistem tersebut airnya jernih dan makhluk hidup didalamnya bisa hidup dengan baik yang artinya polusinya rendah.
· Membangun Kolam Retensi dan Membuat Sumur Resapan
Diketahui, naturalisasi bukanlah satu-satunya upaya Gubernur DKI Jakarta dalam tangani banjir Ibu kota. Upaya lain yang dilakukan yaitu membangun kolam retensi, membangun tanggul di pesisir Jakarta, hingga membuat sumur resapan air atau drainase vertikal. Kolam retensi yang dimaksud merupakan pembangunan bendungan yang dibuat di sejumlah titik perbatasan yang berfungsi untuk mengontrol air yang masuk ke sungai Jakarta dari hulu, Bogor Jawa Barat. Dibuatnya kolam retensi tersebut diharapkan nantinya air yang mengalir ke Ciliwung dapat dikendalikan sehingga tidak terjadi luapan ketika musim hujan. Kemudian membangun tanggul dipesisir Jakarta untuk mengatasi penyebab banjir karena meningkatnya permukaan air laut. Lalu terkait dengan drainase vertikal ialah untuk mengatasi penyebab banjir hujan dalam kota di beberapa wilayah, wilayah yang tanahnya mampu menyerap air dengan baik akan dibangun drainase vertikal.
Selain upaya-upaya yang telah disebutkan diatas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga melakukan program Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) yang merupakan kawasan atau area permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk mencegah terjadinya banjir. Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir diseluruh kota besar di Indonesia, keberadaan ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota.
Solusi yang efektif untuk kota Jakarta mungkin dapat diterapkan dengan mencontoh negara-negara lain yang sukses dalam mengendalikan banjir, antara lain yaitu:
· Tangki Bawah Tanah
Proyek besar untuk melawan banjir ini berada di Tokyo. Untuk mengendalikan banjir yang melanda kota, pemerintah Tokyo membangun tangki bawah tanah. Tangki tersebut mempunyai ukuran yang sangat besar, sampai-sampai bisa menyimpan patung Liberty. Tangki Bawah Tanah ini terhubung dengan terowongan-terowongan yang akan mengalirkan air dari permukaan tanah dan ditampung ke bawah tanah. Air yang tertampung akan dipompa dan dialirkan ke sungai Edo. Sistem ini terdiri dari kanal dan ruangan super besar yang disangga oleh puluhan menara silinder setinggi 70 meter. Dilansir dari Wired, Sistem pertahanan banjir ini terdiri dari lima ruangan silinder G-Can yang masing-masing dapaf menampung hingga 13 juta galon air.
Tangki
bawah tanah di Tokyo, Jepang. sumber: BBC
· Terowongan SMART
Solusi kedua berasal dari negara tetangga yaitu Malaysia. Di Kuala Lumpur proyek pengendali banjir bernama Terowongan Stormwater Management and Road Tunnel (SMART). Pada awalnya, terowongan ini hanya untuk mengatasi banjir, namun kemudian berkembang idenya sehingga dijadikan juga sebagai jalan tol bawah tanah pengurai kemacetan bila tidak sedang terjadi banjir. Dengan panjang 9,7 km, terowongan SMART menjadi terowongan air terpanjang di Asia Tenggara dan terpanjang kedua di Asia. Terowongan ini bisa menampung sekitar 3 juta meter kubik air dan mengalirkannya guna mencegah banjir di pusat kota. Ketika banjir sudah surut, terowongan akan langsung dibersihkan dan bisa dilewati kembali oleh kendaraan.
· Menerapkan zero run off
Zero run-off adalah konsep pengendalian banjir dengan bangunan atau kawasan mengelola air limpasan di dalam kawasannya sendiri, yaitu dengan drainase vertikal. Karena itulah kita membutuhkan membangun sumur-sumur resapan di setiap bangunan yang ada di tempat kita dan pemerintah harus menjadi institusi pertama yang menerapkan zero run off. Jika semua gedung dan bangunan pemukiman bersama melakukan ini saya yakin ide tersebut akan berhasil mengurangi banjir di DKI Jakarta.
REFERENSI
Kompasiana (2012): Banjir
Jakarta; Sejarah dan Kontroversinya. 4 Desember 2012.Diakses dari http://green.kompasiana.com/polusi/2012/12/04/kontroversi-sungai-ciliwung-dan-kampungderet-508086.html
Rosyidie, A. (2013). Banjir: fakta dan dampaknya, serta pengaruh dari perubahan guna lahan. Journal of Regional and City Planning, 24(3), 241-249.
Team Mirah Sakethi. Pengendalian Banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diakses dari https://bpbd.jakarta.go.id/assets/attachment/study/buku_mjb.pdf
BPPTDAS Surakarta. Kajian Banjir Jakarta 1 Januari 2020. Diakses dari http://konservasidas.fkt.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1079/2020/01/Kajian-banjir.jakarta-2020.pdf
Beda Cara Penanganan Banjir Jakarta Ala Anies Baswedan dan Ahok dalam 5 Tahun Terakhir. Diakses dari https://m.tribunnews.com/amp/metropolitan/2020/01/03/populer-beda-cara-penanganan-banjir-jakarta-ala-anies-baswedan-dan-ahok-dalam-5-tahun-terakhir?page=4.
Komentar
Posting Komentar