“SEMARANG KALINE BANJIR…” MITOS ATAU FAKTA?
Penulis : Shelin Asmarani (1806197405)
Lirik
lagu yang dipopulerkan Waldjinah tersebut benar-benar menggambarkan Kota Semarang
yang menjadi Ibukota Provinsi Jawa Tengah yang selain terkenal sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan, industri, pendidikan, dan pariwisata juga terkenal
akan permasalahan banjir yang tidak hanya terjadi pada musim hujan saja tetapi
juga di musim kemarau sekalipun. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya
banjir pasang air laut atau lebih dikenal dengan istilah rob oleh masyarakat
setempat. Terdapat empat kecamatan di Kota Semarang yang selalu terdampak oleh
bencana ini karena letaknya yang berbatasan langsung dengan pantai, yaitu
Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, dan Genuk. Dari keempat
kecamatan tersebut, Kecamatan Semarang Utara menjadi kecamatan yang paling
parah terdampak banjir rob ini. Namun selain empat kecamatan tersebut, terdapat
kecamatan yang tidak langsung berbatasan dengan laut yang terkena dampak dari banjir
rob ini.
Banjir
rob menyebabkan kawasan yang lebih rendah dari permukaan air laut akan
tergenang dengan intensitas waktu yang dapat mencapai beberapa hari. Hal ini
disebabkan oleh adanya gaya gravitasi yang menyebabkan air akan mengalir menuju
daerah yang paling rendah dan mengisi seluruh ruang yang ada[1]. Terdapat beberapa
faktor penyebab banjir rob di Semarang, yaitu[2]
:
1. Topografi Kota Semarang yang tidak seragam dimana terdapat kawasan dengan ketinggian yang lebih rendah dibandingkan ketinggian pasang maksimum serta tanah yang jenuh di kawasan pesisir.
Gambar 2. Peta DEM Kota Semarang
Sumber: Ratih, 2015
2. Penurunan tanah yang disebabkan oleh groundwater pumping atau pengambilan air tanah secara terus-menerus dan beban bangunan yang berada di atas muka tanah akibat pembangunan.
Gambar 3. Peta Penurunan Tanah
Kota Semarang
Sumber: Dinas Cipta Karya Kota Semarang, 2016
3. Global warming yang memicu meningkatnya tinggi permukaan air laut antara 25 hingga 50 cm pada tahun 2050 dan pada tahun 2100 (LIPI, 2019).
Gambar 4. Permukiman Yang Tenggelam
Akibat Meningkatnya Permukaan Air Laut
Sumber: Fotokita, 2019
4. Perubahan tata guna lahan.
Gambar 5. Pengembangan
Perumahan di Kota Semarang
Sumber: Semarangpedia.com, 2016
5. Faktor manusia seperti pembuangan sampah di sungai yang menyebabkan sampah tersebut mengendap.
Gambar 6. Tumpukan Sampah di
Banjir Kanal Timur Semarang
Sumber: detikNews, 2018
6. Drainase yang buruk dan tidak terawat.
Gambar 7. Perbaikan Drainase
di Semarang
Sumber: Tribun Jateng, 2016
7. Curah hujan dan fenomena lain yang secara tidak langsung dapat memperparah fenomena rob ini.
Gambar 8. Hujan Menyebabkan Banjir
Semakin Buruk di Kaligawe Semarang
Sumber: Tribun Jateng, 2016
Berdasarkan permasalahan banjir rob di Kota Semarang, pemerintah setempat membuat Masterplan drainase Kota Semarang tahun 2007 yang selanjutnya dijadikan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Sistem Drainase Kota Semarang tahun 2011-2031 sebagai berikut[3] :
1. Pembangunan Waduk Jatibarang.
Gambar 9. Waduk Jatibarang Mulai
Beroperasi Pada Tahun 2015
Sumber: nativeindonesia, 2019
2.
Pembuatan dan pemaksimalan sistem drainase.
3.
Pembuatan stasiun pompa.
4.
Pembuatan tanggul laut.
5.
Peninggian jalan.
6.
Pembangunan tanggul.
7.
Pembuatan parapet.
8. Pembuatan rumah pompa dan kolam retensi.
Gambar 10. Kolam Retensi di
Kaligawe, Semarang
Sumber: Kementerian PUPR, 2019
9.
Pembersihan saluran drainase.
Selain upaya-upaya diatas tersebut, terdapat beberapa upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan banjir rob di Kota Semarang. Yang pertama adalah pembuatan sumur resapan baik di rumah warga maupun di fasilitas umum seperti tempat ibadah. Sumur resapan memiliki fungsi konservasi sebagai tempat menampung, menahan, dan meresapkan air permukaan (run-off) ke dalam akuifer atau tanah atau dalam kata lain sumur resapan merupakan rekayasa dari infiltrasi, dimana air hujan diberi jalan alternatif untuk meresap ke tanah melalui sumur resapan ini yang seharusnya melalui proses infiltrasi[4].
Gambar 11. Ilustrasi Desain
Sumur Resapan
Sumber: Hakim, 2017
Selanjutnya adalah penanaman mangrove atau bakau. Adanya ekosistem mangrove ini diyakini dapat mengurangi dampak erosi pantai dan juga melindungi kawasan pesisir dari gelombang besar, tsunami, dan pasang surut. Meskipun di Kota Semarang sudah terdapat dua kawasan mangrove yang dikelola oleh pemerintah setempat, yaitu ekosistem mangrove Kecamatan Tugu dan ekosistem mangrove Kecamatan Genuk, perluasan kawasan mangrove masih sangat diperlukan. Hal ini disebabkan oleh jumlah ekosistem mangrove di Kota Semarang dinilai masih belum memadai dan juga banyak dari ekosistem mangrove tersebut yang mengalami kerusakan akibat kurangnya perawatan dan perhatian dari pengelola mangrove. Luas total lahan ekosistem mangrove Kota Semarang mencapai 68,13 ha, dengan 36,12 ha rusak berat, 14,51 ha rusak, dan 18,70 ha tidak rusak[5].
Gambar 12. Penanaman Mangrove
Oleh Mahasiswa di Mangkang, Semarang
Sumber: Tribunnews, 2018
Upaya berikutnya adalah pengembalian fungsi penggunaan lahan pesisir, dimana saat ini daerah pesisir sudah beralih fungsi menjadi lahan permukiman dan kawasan industri. Pembangunan ini dilakukan dengan cara menguruk tambak, rawa, dan sawah. Sehingga yang mulanya wilayah tersebut berfungsi sebagai penampung pasang air laut, tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi dan justru menyebabkan terjadinya genangan di kawasan yang lebih rendah (BAPPEDA, 2000). Cara yang tepat untuk pengembalian fungsi wilayah pesisir ini adalah relokasi penduduk yang bermukim di daerah pesisir, namun hal ini tentunya tidak akan mudah karena umumnya masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir Kota Semarang merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah. Sehingga perihal relokasi ini tentunya akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah setempat. Meskipun begitu, pemerintah dapat meminimalkan biaya relokasi dengan membangun rumah susun[6]. Hal ini tentunya lebih hemat dibandingkan permerintah perlu membangun rumah pribadi untuk setiap warga. Dengan adanya relokasi ini diharapkan kawasan pesisir dapat berfungsi seperti sedia kala.
Gambar 13. Ilustrasi Rumah
Susun
Sumber: Arsitag
Selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas, ada hal yang sangat mudah yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal tersebut adalah kesadaran akan menjaga lingkungan, seperti menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya. Sehingga tidak ada lagi sampah yang mengendap di sungai-sungai dan menghambar jalannya air. Upaya ini diperlukan juga peran pemerintah untuk melakukan sosialisasi terhadap warga. Selain itu pemerintah dalam sosialisasi nya juga perlu mengajak warga untuk melakukan kegiatan bersih-bersih rutin, misalkan setiap hari jumat atau hari minggu.
Gambar 14. Ilustrasi Kegiatan
Bersih-Bersih Sungai
Sumber: Tribun Jateng, 2018
Berdasarkan
uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa banjir rob di Semarang
disebabkan oleh adanya gelombang pasang air laut. Namun hal ini juga dipicu
oleh banyak hal lain baik merupakan faktor alam maupun aktivitas manusia. Maka diperlukan
adanya upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan rob baik oleh pemerintah maupun
masyarakat Kota Semarang. Berhasil atau tidaknya upaya ini sangat dipengaruhi
oleh kesadaran kita masing-masing akan lingkungan tempat tinggalnya. Dengan upaya-upaya
tersebut tentunya lagu “Semarang Kaline Banjir” akan hanya menjadi mitos karena
faktanya Kota Semarang sudah mulai menunjukkan kemajuan dalam hal penanganan
banjir yang nantinya kasus banjir rob ini akan benar-benar lenyap.
REFERENSI
[1] Ali, M. 2010. Kerugian Bangunan Perumahan Akibat Rob dan Arah
Kebijakan Penanganannya di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang. Semarang.
[2] Kurniawan, L. (2003). Kajian Banjir Rob Di Kota
Semarang (Kasus Dadapsari). In Alami: Jurnal Teknologi Reduksi Risiko
Bencana (Vol. 8, Issue 2, pp. 54–59).
[3] Erlani, R., & Nugrahandika, W. H. (2019).
Ketangguhan Kota Semarang dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang Air Laut
(Rob). Journal of Regional and Rural Development Planning, 3(1),
47.
[4] Duppa, H. (2017). Sumur Resapan Untuk Mengurangi
Genangan Air Dan Banjir. Jurnal Scientific Pinisi, 3(1), 48–54.
[5] Nugroho, T. S. (2019). Kajian Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Sebagai Sarana Pengurangan Resiko Bencana di Kota Semarang. Prosiding
Seminar Geotik, 23–35.
[6] Yunarto, Y., & Sari, A. M. (2017). Relokasi
Penduduk Terdampak Banjir/Rob Di Kota Semarang. Majalah Ilmiah Globe, 19(2),
123.
Komentar
Posting Komentar