"WABAH" TAHUNAN DI INDONESIA (BANJIR)

Pendahuluan

Oleh, Fauzan Ananda P 1806197531

Lebak Kembali Diterjang Banjir, Warga Panik Air Meluap

Dalam beberapa dekade terkhir, terjadi suatu "wabah" yang dialami oleh negara Indonesia, "wabah ini datang rutin tiap tahun karena faktor spasial dan temporal wilayah Indonsia, "wabah" yang bisa dibilang tidak cukup mematikan tapi menyusahkan, "wabah" ini disebut dengan Banjir. Banjir diakibatkan karena meluapnya sungai karena turunnya hujan yang cukup lama sehingga sungai tidak bisa lagi menampungnya dan akhirnya menggenang disekitar sungai tersebut. Banjir dapat berupa genangan pada lahan yang biasanya kering seperti pada lahan pertanian, permukiman, pusat kota. Banjir dapat juga terjadi karena debit/volume air yang mengalir pada suatu sungai atau saluran drainase melebihi atau diatas kapasitas pengalirannya. Luapan air biasanya tidak menjadi persoalan bila tidak menimbulkan kerugian, korban meninggal atau luka-2, tidak merendam permukiman dalam waktu lama, tidak menimbulkan persoalan lain bagi kehidupan sehari-hari. Bila genangan air terjadi cukup

Di Indonesia banjir sudah lama terjadi. Di Jakarta, misalnya, banjir sudah terjadi sejak 1959, ketika jumlah penduduk masih relative sedikit. Banjir Jakarta terjadi sejak 1621, kemudian disusul banjir 1878, 1918, 1909, 1918, 1923, 1932 yang menggenangi permukiman warga karena meluapnya air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke. Setelah Indonesia merdeka, banjir masih terus terjadi di Jakarta a.l pada 1979, 1996, 1999, 2002,007 (kompasiana, 2012; Fitriindrawardhono, 2012). Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, selama musim hujan seperti bulan Januari-Februari, semua pihak (baik pemerintah maupun masyarakat) biasanya khawatir datangnya bencana banjir. Curah hujan pada periode tersebut biasanya lebih tinggi dari bulan lainnya (BMKG, 2013). Oleh karena itu masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan rawan banjir (bantaran sungai, dataran banjir, pantai, dll) atau yang rutin mengalami banjir, biasanya sudah siap dengan kemungkinan terburuk mengalami banjir, apalagi bila tempat tinggalnya berada dekat tubuh perairan khususnya sungai. Bagi Indonesia, khususnya propinsi Jawa Barat, banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi, terutama pada saat musim hujan. Banyak petani di pantura yang hanya bisa pasrah menyaksikan lahan pertanian dan perikanannya hancur diterjang banjir. Ketinggian air ada yang mencapai lebih dari satu meter. Banjir tidak hanya menggenangi daerah perdesaan tetapi juga kawasan perkotaan.

Penyebab Terjadinya Banjir

Terjadinya banjir disebabkan oleh kondisi dan fenomena alam (topografi, curah hujan), kondisi  geografis daerah dan kegiatan manusia yang berdampak pada perubahan tata ruang atau guna lahan di suatu daerah. Banjir di sebagian wilayah Indonesia, yang biasanya terjadi pada Januari dan Februari, diakibatkan oleh intensitas curah hujan yang sangat tinggi, misalnya intensitas curah hujan DKI Jakarta lebih dari 500 mm (BMKG, 2013). Kodoatie dan Syarief (2006) menjelaskanfaktor penyebab banjir  perubahan guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai, system pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir. Berdasarkan kodisi geografisnya, kawasanyang terletak di dataran banjir mempunyai resiko yang besar tergenang banjir. Selain Jakarta, beberapa kota besar di Indonesia terletak di dataran banjir sehingga mempunyairesiko yang besar tergenang banjir. Banjir saat ini banyak yang terjadi pada wilayah dataran banjir. Sebanyak 13 sungai di Jakarta berpotensi banjir (Bisnis Indonesia, 2012).

Dampak Banjir

Secara umum dampak banjir dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung relative lebih mudah diprediksi dari pada dampak tidak langsung. Dampak yang dialami oleh daerah perkotaan dimana didominasi oleh permukiman penduduk juga berbeda dengan dampak yang dialami daerah perdesaan yang didominasi oleh areal pertanian. Kodoatie dan Syarief (2006) memberikan beberapa contoh dampak atau kerugian banjir hilangnya nyawa atau terluka, hilangnya harta benda, kerusakan permukiman, kerusakan wilayah perdagangan, kerusakan wilayah industri, kerusakan areal pertanian, kerusakan system drainase dan irigasi, kerusakan jalan dan rel kereta api, kerusakan jalan raya, jembatan, dan bandara, kerusakan system telekomunikasi, dll.

Pengelolaan Banjir

Mengingat banjir sudah terjadi secara rutin, makin meluas, kerugian makin besar, maka perlu segera dilakukan upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi dampaknya, yang dapat dilakukan secara structural maupun non structural (Grigg, 1996 dalam Kodoatie dan Syarief, 2006). Upaya secara struktural a.l berupa Tindakan menormalisasi sungai, pembangunan waduk pengendali banjir, pengurangan debit puncak banjir, dll. Upaya ini telah dilakukan di beberapa daerah. Selain beragam upaya tersebut, juga dilakukan early warning system (peringatan dini) supaya pihak yang terkait dapat melakukan antisipasi sejak dini sehingga dapat meminimalisir dampaknya. Upaya agar setiap rumah membuat sumur resapan untuk menampung air hujan, sehingga dapat mengurangi banjir dan menambah cadangan air tanah.

Selain upaya tersebut, upaya pengendalian banjir dan dampaknya dapat dilakukan melalui 3 pendekatan utama yaitu memindahkan penduduk yang biasa atau akan terkena banjir, memindahkan banjirnya, mengkondisikan penduduk hidup bersama dengan banjir (Wisner et al, 2004). Dari 3 pendekatan tersebut yang sering dilakukan adalah mengendalikan banjirnya dan membiasakan penduduk hidup bersama banjir. Berbagai upaya tersebut telah banyak dilakukan di berbagai daerah, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, banjir masih terus terjadi dengan korban dan kerugian yang tidak sedikit.

Penanganan banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak baik instansi teknis maupun lembaga lain yang terkait serta masyarakat. Kerjasama inter dan antar mereka harus dilakukan agar memperoleh hasil yang optimal. Melalui beragam upaya struktural dan non-struktural yang terpadu serta berkelanjutan maka kejadian banjir di masa mendatang dapat diperkecil baik kejadian maupun dampaknya.

Upaya pengendalian banjir melalui pengelolaan DAS selama ini dianggap belum berhasil dengan baik antara lain karena kurangnya koordinasi atau keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS (Departemen Kehutanan, 2009).

Masalah pengelolaan DAS semakin kompleks karena tidak sedikit pemerintah daerah yang belum memahami konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap lebih mengutamakan aspek ekonomi seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) menyebabkan konsep pengelolaan DAS terpadu yang mementingkan pelestarian ekosistem menjadi terabaikan (Departemen Kehutanan, 2009).

Kesimpulan

Ada banyak faktor dalam terjadinya banjir, walau faktor utamanya adalah curah hujan berlebih yang kita tidak dapat kontrol, setidaknya kita dapat meminimalisir faktor - faktor yang dibuat oleh kita sendiri seperti pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan prosedur, membuang sampah sembarangan dan pengendalian banjir yang kurang baik. karena apa yang kita perbuat akan berdampak pada kehidupan kita.

 

Sumber: 

A.Maryono (2020). Buku "Menangani banjir, kekeringan dan lingkungan"

R. Arief (2013). Banjir: Fakta dan Dampaknya,Serta Pengaruh dari Perubahan Guna Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 3, Desember 2013, hlm.241 - 249.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENCEMARAN AIR SUNGAI CILIWUNG SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB BANJIR DI DKI JAKARTA

Air Sungai Cisadane di Kota Tangerang Tercemar??

PENCEMARAN AIR LAUT OLEH TUMPAHAN MINYAK (OIL SPILL) BESERTA PENANGGULANGANNYA