Penyesuaian UU SDA dan Teknologi UAV untuk Pengawasan Dampak Pengelolaan Sumber Daya Air

Penyesuaian UU SDA dan Teknologi UAV untuk Pengawasan Dampak Pengelolaan Sumber Daya Air

Oleh: Masagus Achmad Fathan Mubina (NPM 1806231765)

 

Gambar 1. Bantaran sungai. Sumber: Dok. Pribadi

 

Sumber daya air dari daerah aliran sungai telah dikelola untuk berbagai aktivitas manusia, namun dampak degradasi kuantitas dan kualitas yang disebabkan telah mengancam kelestarian sehingga perlu diawasi dengan cara yang lebih baik secara rutin. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah satuan wilayah daratan dengan sungai yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan ke danau atau laut secara alami dengan batas topografi di darat dan batas perairan yang tidak terpengaruh aktivitas daratan (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi, 2017). Berdasarkan Peraturan PUPR No. 04/PRT/M/2015 wilayah Indonesia terbagi menjadi 128 wilayah sungai dimana wilayah sungai adalah gabungan berbagai DAS, salah satu darinya adalah Wilayah Sungai Bengawan Solo. Masyarakat di sekitar wilayah sungai tersebut telah mengelola potensi Sumber Daya Air (SDA) yang didapatkan dari DAS sekitar untuk berbagai kebutuhan seperti kebutuhan kota dan industri domestik (domestic, municipal, industry), air minum (PDAM), irigasi, dan tambak (Menteri Pekerjaan Umum, 2010). Aktivitas manusia itu bersama dengan potensi SDA yang tidak merata akibat variasi musim (Samekto, 2010) telah mempengaruhi kondisi SDA di DAS. Pembukaan lahan dan penambangan pasir telah menimbulkan kerusakan vegetasi dengan erosi berlanjut yang meningkatkan lahan kritis (Menteri Pekerjaan Umum, 2010). Jika aktivitas terkait dikaji lebih lanjut, penyebab dampak negatif itu adalah pengawasan yang lemah sehingga kesadaran yang ada rendah dan kurangnya koordinasi, bahkan terdapat kesulitan akses data dan data yang tidak lengkap (Menteri Pekerjaan Umum, 2012). Disinilah sistem informasi sumber daya air memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga masyarakat luas dapat mudah mengakses data yang akurat, tepat waktu, dan berkelanjutan (Menteri Pekerjaan Umum, 2010) untuk dapat ikut mengawasi. Akses data seperti itu dapat mendorong upaya konservasi dan komunikasi serta koordinasi yang lebih baik. Sebagai solusi, pengawasan yang didukung oleh kebijakan yang disesuaikan dan teknologi penilaian cepat seperti UAV sangat diperlukan untuk mewujudkan pengawasan pengelolaan SDA yang rutin dilakukan.

Kebijakan yang perlu Disesuaikan

Sebelum suatu solusi diterapkan, gagasan tersebut harus sesuai dengan kebijakan yang berlaku. UU SDA yang baru diresmikan telah melewatkan unsur pengawasan pengelolaan sumber daya air, padahal pada saat penyusunannya kebijakan tersebut dapat mengadopsi ketentuan terkait dari UU 32 Nomor 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) tanpa menggantungkannya ke Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum diatur (UU Nomor 17 Pasal 56 ayat 3, 2019). Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air (UU Nomor 17 Pasal 1 Ayat 8, 2019). Salah satu konsekuensi dari digantungkannya unsur pengawasan adalah ketidakpastian ketentuan untuk menjamin konservasi SDA. Konservasi SDA adalah upaya memelihara keadaan SDA dan keberlanjutan kuantitas serta kualitasnya untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup kini dan nanti (UU Nomor 17 Pasal 1 ayat 14, 2019). Aturan konservasi SDA yang merupakan bagian dari sumber daya alam sudah seharusnya merujuk pada UU PPLH tanpa harus digantungkan hingga diterbitkannya PP terkait, dengan begitu upaya perlindungan yang tepat dapat dikembangkan.

 

Gambar 2. Model konsep SISDA. Sumber: (Pusat Penelitian dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi, 2017)

 
Pada UU PPLH hal-hal penting seperti dibutuhkannya rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) (UU Nomor 32 Pasal 10, 2009) dan diwajibkannya penanggulangan pencemaran telah diatur
 (UU Nomor 32 Pasal 52, 2009). RPPLH dalam hal potensi sumber daya air DAS didasari inventarisasi lingkup DAS untuk menunjang pemanfaatan air yang lestari (UU Nomor 32 Pasal 10, 2009). Pengendalian, pemantauan, pendayagunaan, serta pelestarian SDA yang merujuk pada RPPLH pada UU 32 Nomor 2009 dapat mengendalikan dampak negatif pengelolaan air yang mengganggu keberlanjutan jika unsur pengawasan tidak dilewatkan dan dilakukan dengan inventarisasi yang baik. Selanjutnya penanggulangan dan pemulihan DAS jika dinilai sudah tercemar dilakukan dengan pemberian informasi peringatan pencemaran, penghentian sumber pencemar, dan cara lain yang relevan. Meninjau kembali kebutuhan informasi baik sebagai hasil dari inventarisasi maupun sebagai dasar peringatan maka sistem informasi memegang peranan yang penting. Sistem informasi yang dimaksud memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, kerawanan, dan informasi lainnya sesuai dengan objek yang dikaji. Setiap masyarakat dapat berperan dalam sistem tersebut seperti dengan melaporkan informasi yang dibutuhkan.

Seorang geograf sebagai bagian dari masyarakat dapat berperan untuk menyampaikan hasil kajiannya ke dalam sistem informasi SDA. Hasil analisis potensi SDA dan permasalahannya dari sisi kuantitas dan kualitas telah mencakup inventarisasi ragam spasial dan temporal dari komponen hidrologi skala DAS yang sesuai dengan konsep hidrogeografi. Hasil analisis itu disampaikan untuk diintegrasikan dengan sistem informasi yang ada agar pemantauan dan peninjauan kembali  pengelolaan DAS dapat terwujud. Sistem informasi SDA (SISDA) adalah jaringan informasi SDA yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi, 2017). Konsep pengembangannya dapat dilihat pada gambar 2. Sebagai sistem informasi SISDA membutuhkan data yang akurat, benar, berkesinambungan dan tepat waktu, sehingga dibutuhkan pengumpulan data hidrogeografi yang rutin dan real-time.

Gambar 3. Pengumpulan data debit air menggunakan UAV (Tauro, 2016)

 
Teknologi UAV sebagai Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data hidrogeografi dengan cepat dan detail dapat diwujudkan dengan teknologi UAV. Pesawat nir awak atau UAV (Unmanned Aerial Vehicle) adalah sistem atau mesin terbang tanpa awak (Brooke-Holland, 2012). UAV telah menjadi alat pengumpul data untuk sistem informasi geografi (SIG) yang merupakan bagian dari SISDA, dengan pengolahan mulai dari fotogrametri, image processing, hingga analisis ground control point untuk menghasilkan berbagai fitur dua dimensi dan tiga dimensi (Tiwari, 2015). Komponen hidrologi seperti curah hujan, evapotranspirasi, dan run off skala DAS dapat dijelaskan menggunakan UAV untuk memperkirakan ketersediaan air di suatu tempat di muka bumi dengan pendekatan kesetimbangan air. UAV dapat menjelaskan evapotranspirasi menggunakan model fluks kalor permukaan dan suhu permukaan atau land surface temperature (Hoffmann, 2015) . Selain itu dapat dilakukan pula analisis kuantitatif berbasis data debit yang diperoleh dari citra UAV untuk mendapatkan pola hidrograf,  koefisien regim aliran, koefisien aliran tahunan, rasio debir maksimum-minimum, indeks kecepatan aliran, indeks aliran dasar, dan analisis kuantitatif lainnya untuk melihat dampak aktivitas manusia terhadap debit aliran. Karakterisasi kuantitatif aliran permukaan dilakukan dengan kalibrasi fotometrik seperti gambar 3, perekaman video aliran diolah dengan algoritma Large Scale Particle Image Velocity (LSPIV) dengan hasil gambar 4.  UAV juga dapat melakukan pengukuran kualitas air untuk kemudian dihitung indeksnya seperti menghitung indeks pencemaran atau STORET. Istilah yang digunakan adalah unmanned aerial measurement system (UAMS) pada pengukuran in situ yang dapat dengan baik merekam nilai oksigen terlarut, konduktivitas, pH, dan suhu dengan open source multiprobe meter (OSMM) seperti gambar 5 (Koparan, 2018). Beragam aplikasi tersebut adalah beberapa contoh pengumpulan data dengan UAV.

Gambar 4. Penampang debit dari UAV. Sumber: (Hoffmann, 2015)

Gambar 5. Ilustrasi penerapan UAMS. Sumber: (Koparan, 2018)

Melalui teknologi UAV berbagai informasi dapat dikumpulkan dengan cepat untuk kemudian disatukan ke dalam SISDA. Informasi yang dimaksud dapat berupa data mentah atau hasil analisis. Pengolahan data curah hujan, evapotranspirasi, aliran permukaan, dan data pelengkap lainnya setelah dibuat menjadi model kesetimbangan air dapat memperkirakan ketersediaan air baik secara kuantitas maupun kualitas di musim kemarau selama masa pengelolaan air. Jika ditemukan kelangkaan yang makin parah, maka pengelolaan tersebut perlu ditinjau kembali untuk dipastikan kesesuaian jenis pengelolaan dengan lokasi, jika tidak ada yang berbeda, maka tetap diawasi untuk diperbaiki. Begitu pula pada debit dan indikator kualitatif lainnya. Setelah dilakukan pengawasan menggunakan UAV kenakalan seperti penebangan dan penambangan liar dapat ditemukan. Aplikasi pengawasan menggunakan UAV ini dapat memperoleh dana dari perusahaan yang bertanggung jawab untuk menjaga sumber air yang dikelolanya. Bersama dengan program konservasi seperti agroforestry, pembangunan instalasi pengolahan air limbah, dan pembangunan waduk, pengawasan dampak pengelolaan SDA menggunakan UAV dapat menjadi solusi yang lebih baik dan rutin untuk melindungi air.

Kesimpulan;

Manusia mengelola daerah aliran sungai (DAS) untuk memanfaatkan potensi sumber daya air (SDA) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun jika diperhatikan secara hidrogeografis, variasi spasial dan temporal dari komponen hidrologi pada skala DAS dapat menunjukkan dampak buruk baik sisi kuantitatif seperti debit yang berkurang maupun sisi kualitatif seperti kadar polutan yang melampaui baku mutu. Informasi tersebut dapat diperoleh jika dilakukan pengawasan dampak pengelolaan yang baik dan rutin. Dibutuhkan penyesuaian terhadap UU SDA yang baru disahkan pada tahun 2019 karena pada kebijakan tersebut pengawasan masih belum diatur. Jika sudah diperbaiki, maka tantangan selanjutnya adalah mengumpulkan data secara rutin untuk disebarkan melaui sistem informasi SDA agar kemudian didapatkan informasi bagaimana dampak yang dihasilkan dan evaluasi kesesuaian jenis pengelolaan terhadap kondisi DAS. Teknologi UAV bersama dengan sistem informasi geografi dapat mengumpulkan dan mengolah data hidrogeografi secara cepat dan praktis untuk kebutuhan pengawasan rutin. Pengawasan yang rutin sangat berguna agar dampak yang aktivitas manusia hasilkan terhadap DAS dapat terkendali dan tetap menjaga kelestarian.

 

Daftar Pustaka

Brooke-Holland, L. (2012). Unmanned Aerial Vehicles (drones): an introduction. UK: House of Commons Library.

Hoffmann, H. N.-T. (2015). Estimating evapotranspiration with thermal UAV data and two source energy balance models. Hydrology & Earth System Sciences Discussions.

Koparan, C. K. (2018). In situ water quality measurements using an unmanned aerial vehicle (UAV) system. Water, 264.

Menteri Pekerjaan Umum. (2010). Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Menteri Pekerjaan Umum. (2012). Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai 6 Ci. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT, Nomor 04 (Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai Tahun 2015).

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul 7 Sistem Informasi Sumber Daya Air. Bandung: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul 3 Konservasi Sumber Daya Air. Bandung: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Samekto, C. (2010). Potensi Sumber Daya Air di Indonesia. Seminar Nasional: Aplikasi Teknologi Penyediaan Air Bersih untuk Kabupaten/Kota di Indonesia.

Tauro, F. P. (2016). Surface flow measurements from drones. Journal of Hydrology, 240-245.

Tiwari, A. &. (2015). Unmanned aerial vehicle and geospatial technology pushing the limits of development. American Journal of Engineering Research, 16-21.

UU Nomor 17 Pasal 1 ayat 14 (Sumber Daya Air 2019).

UU Nomor 17 Pasal 1 Ayat 8 (Sumber Daya Air 2019).

UU Nomor 17 Pasal 56 ayat 3 (Sumber Daya Air 2019).

UU Nomor 32 Pasal 10 (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009).

UU Nomor 32 Pasal 52 (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009).

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dampak Aktivitas Perdagangan di Pasar Terapung Terhadap Sungai-sungai di Kalimantan

PENCEMARAN AIR SUNGAI CILIWUNG SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB BANJIR DI DKI JAKARTA

Air Sungai Cisadane di Kota Tangerang Tercemar??